Thursday, 23 November 2017
cerpen sedih
Hari ini Dodi berulang tahun. Aku ingin memberikan sesuatu yang istimewa untuknya. Sesuatu yang bisa membuatnya bahagia dan memaafkan tingkah lakuku yang tak pantas selama ini.
Hari ini akan kuserahkan seluruh cintaku padanya. Kan kuberikan sepenuh hatiku untuknya. Kan kubalas hari - hari menyakitkan yang dilaluinya dengan manisnya cinta. Aku membungkus bingkisan yang telah kupersiapkan untuk kado ulang tahunnya sambil bersenandung riang. Dodi sudah lama menginginkan jam tangan ini, yang diburunya sejak enam bulan lalu. Kutemukan seminggu yang lalu saat aku tugas ke Singapura. Di hari istimewanya ini aku akan melakukan sesuatu yang spesial. Aku akan menjamunya makan malam, memberikan hadiah untuknya, dan menyatakan cintaku padanya. Ya, aku ingin kembali padanya. Aku ingin menjadi bagian hidupnya lagi. Aku ingin mengarungi dunia bersamanya.
Aku bertemu Dodi setahun yang lalu, di klub fotografi tempat aku menghabiskan waktu di akhir pekan. Aku adalah pendatang baru di klub ini. Rasa penasaran melihat foto – foto spektakuler yang dihasilkan Joey, temanku, mendorongku untuk bergabung di salah satu komunitas potography di Jakarta. Sial bagiku.
Di hari pertama aku bergabung, klub memutuskan untuk hunting foto di kawasan kota tua Jakarta. Sesampai di tempat tujuan, setiap fotografer langsung beraksi. Potret sana, potret sini. Ambil angle dari sana dan dari sini. Semuanya sibuk, tak terkecual aku. Bedanya, Semua orang sibuk memotret, sementara aku sibuk berkutat dengan Nikon D80 yang baru kubeli empat hari yang lalu. Ini pertama kali aku memiliki kamera SLR dan seratus persen buta bagaimana mengoperasikannya. Mau bertanya, malu. Jadi, yang kulakukan hanyalah membuka dan menutup lensa. Aku tengah mengotak – atik sang kamera saat seorang cowok dengan postur tubuh kurus mendatangiku.
"Kenapa kameranya?" tanyanya. "Rusak ya?" Bingung tak tahu mau mengatakan apa. Aku hanya mengangguk - angguk tak jelas. Si cowok mengambil kamera dari tanganku, memencet - mencet tombolnya, dan mengambil foto ku dari berbagai sisi.
"Bagus kok," katanya. "Kelihatannya masih baru. Nih," dia mengembalikan kamera malang tersebut. Aku hanya diam, masih bingung bagaimana mengoperasikannya. "Kok belum mulai motret?" tanyanya. "Padahal, banyak banget objek menarik lho. Lihat. Langitnya bagus banget. Dengan siluet pohon, bakal jadi poto sempurna."
"Mmmmm... mmmm" aku menggumam ragu – ragu. "Sebenarnya, aku tak bisa mengoperasikannya," kataku pasrah membayangkan dia akan menertawakanku. Tapi, dia tidak tertawa. Dia mengajakku duduk di bangku kayu dan memberikan kursus kilat kepadaku. Belakangan aku tahu, namanya Dodi. Dia anggota klub senior dan seorang arsitek.
Pertemananku dengan Dodi terus berlanjut. Di setiap pertemuan, dia selalu memberikan tips - tips khusus bagaimana mengambil foto yang baik, waktu terbaik untuk mengambil poto panorama, angle sempurna untuk memotret seseorang. Percakapan kami berlanjut tidak hanya seputar fotografi. Dilanjutka dengan cerita – cerita seputar pekerjaan. Dia bercerita tentang designya, aku bercerita tentang kasus-kasus di firma hukum tempatku bekerja. Dalam waktu dua bulan, kami menjadi dekat.
Dodi sahabat yang baik. Dia selalu bersedia mengajariku terhadap hal – hal yang tak kuketahui tentang. Mendengarkan keluh kesahku tentang klien – klien yang menyebalkan. Menghiburku saat aku kesal. Kebaikan tulus dari seorang sahabat. Aku menyayanginya. Dan aku tahu, dia juga menyayangiku. Bahkan sangat menyayangiku. Satu hal yang terkadang sangat merisaukanku. Aku memang menyukai Dodi. Namun, aku khawatir, rasa sayangnya yang berlebihan akan membawanya menyatakan sesuatu padaku, sesuatu yang akan sangat sulit kuterima.
Aku memang menyayanginya. Namun, aku tidak mencintainya. Aku mencintai seseorang yang tak pernah tahu kalau aku mencintainya. Seseorang yang kucintai diam – diam. Aku mencintai Rafie. Teman serumah saat aku tinggal di Wisma Kenanga, saat aku bekerja di Bandung. Seseorang yang sempat mengisi mimpi – mimpi malamku. Seorang yang bisa memebuat hariku di kantor terasa begitu menyenangkan hanya karena sebuah email singkat darinya. Padahal email tersebut hanya menanyakan nomor telepon seorang teman yang lain. Rasa pengecut menghalangiku untuk menunjukkan perasaanku kepadanya. Aku tetap memendamnya, hingga dia pindah ke Surabaya untuk melanjutan sekolah spesialisnya.
Kepergiannya tak membuat cintaku luntur. Perasaanku tetap kuat. Yakin, suatu saat dia akan datang kepadaku. Setiap hari, hal pertama yang kulakukan adalah mengecheck facebook miliknya, dan memastikan statusnya masih Single.
Saat itu akhirnya tiba. Dodi menyatakan cintanya kepadaku. Aku menerima cintanya. Bukan karena aku mencintainya, hanya karena aku tak mau kehilangan perhatian darinya. Kehilangan kebaikan – kebaikannya. Menerima cintanya hanya sekedar cara untuk membunuh kesepian dan kerinduanku akan Rafie. Terkadang, aku merasa berdosa. Saat bersamanya, aku malah membayangkan sosok Rafie. Pernah, suatu hari dia memergokiku tengah memandang foto Rafie di facebook. Aku kaget bukan kepalang, dan berpura – pura tenang menjelaskan bahwa Rafie adalah temanku, dan aku penasaran ada dimana dia sekarang. Kukira Dodi akan cemburu. Ternyata aku salah. Dia tetap bersikap biasa. Menganggap kelakuanku melihat foto laki – laki lain dengan penuh damba adalah satu hal biasa.
Namun, aku tak bisa membohongi diri. Semakin lama aku bersamanya, aku semakin tersiksa. Sms – sms manis untuk mengingatkan jangan lupa makan dan shalat darinya mulai membuatku bosan. Akhir pekan mulai terasa menyiksa. Kebersamaan dengannya yang dahulu sangat kunikmati berubah menjadi siksaan batin yang tak tertahankan. Sering, aku membatalkan janji tanpa sebab, berpura – pura sibuk hanya sekedar ingin menghindarinya. Kerinduanku pada Rafie, tak jarang membuatku marah tak beralasan kepadanya. Begitupun, dia tetap baik. Mendengarkan amarahku hingga aku puas. Esoknya, semuanya seolah tak pernah terjadi.
Semuanya berawal dari reuni singkat itu. Meskipun telah berpisah dengan teman – teman dari Wisma Kenanga, aku tetap intens berkomunkasi dengan mereka melalui milis khusus. Melalui milis ini kami saling memberi khabar, dan melalui milis ini pula aku mengetahui sedikit khabar tentang Rafie. Tiga tahun tak pernah bertemu, kami memutuskan untuk melakukan reuni kecil di Jogja, di rumah Harry, salah seorang teman. Jogja jadi pilihan utama karena letaknya yang strategis dari Jakarta maupun Surabaya dimana kami bermukim. Reuni yang kusambut dengan senang hati. Bayangan aku akan segera bertemu dengan Rafie membuat nafaskku sesak jika membayangkannya.
Aku membatalkan janji dengan Dodi dan klub fotografi untuk hunting ke pedalaman Kalimantan demi reni tersebut. Padahal, rencana hunting ini sudah lama sekali dipersiapkan. Seperti biasa, Dodi memaklumiku. Sama sekali tidak marah dengan keputusanku. Dia tetap memberikan kebaikan seperti biasanya. Kebaikan yang membuatku malu. Dan marah. Terkadang, ingin rasanya melihatnya marah kepadaku, agar aku tak perlu merasa terlalu bersalah.
Reuni tersebut berjalan lancar dan sempurna. Harry sudah jadi Direktur di salah satu organisasi yang sedang ditanganinya. Eki sudah menikah dan Roby sudah memiliki sepasang anak kembar. Hanya aku dan Rafie yang belum menikah. Rafie masih semenarik dulu. Yang membedakannya hanyalah sikapnya yang semakin bertambah matang. Gayanya masih tenang dan masih seintelektual dulu. Hal yang sangat kukagumi darinya dan membuatku selalu rendah diri jika bersama dengannya.
Aku tidak menyangka, pertemuanku dengan Rafie terus berlanjut. Dia telah menyelesaikan sekolah spesialisnya di Surabaya dan berniat pindah ke Jakarta, menerima tawaran bekerja di salah satu rumah sakit swasta sebagai spesialis jantung. Kepindahannya ke Jakarta membuat hubungan kami kembali dekat. Bahkan lebih dekat daripada saat kami tinggal bersama. Aku mulai bermain api. Entah mengapa, kecanggunganku di depannya hilang, dan aku bisa bersikap biasa kepadanya. Rasa cintaku semakin menggebu. Aku semakin mencintainya. Tawaran makan malam bersama dengannya merupakan hal yang paling kutunggu – tunggu. Bahkan, beberapa malam minggu aku membatalkan janji dnegan Dodi untuk menghadiri konser musik klasik kesukaan Rafie. Begitupun, aku masih tak tahu bagaimana perasannya padaku.
Hari itu hari ulang tahun Rafie. Aku memberinya surprise dengan memberikan bingkisan sederhana untuknya. Meskpin biasa, namun Rafie sangat senang dengan yang kuberikan. Dia mentraktirku makan malam di sebuah restoran di Kemang untuk merayakan ulang tahunnya. Malam itu begitu sempurna, sebelum Rafie mengantarku pulang. Hari sudah larut, menunjukkan pukul 11 malam. Namun, ada seseorang yang duduk di teras rumahku. Dody. Oh Tuhan. Mau apa dia malam – malam begini. Dia sudah terlanjur melihatku. Tak ada waktu untuk kabur, dan Rafie sudah terlanjur keluar dari mobil.
Dodi menyambutku pulang. Wajahnya kelihatan lelah. Ada sorot kesedihan disana. Namun, seperti biasa. Dia tetap seperti malaikat. Tidak marah kepadaku, dan tidak menunjukkan bahwa kami memiliki hubungan khusus. Tidak sedikitpun dia menunjukkan kebencian kepada Rafie.
"Hi Sheila. Aku menunggu dari tadi. Ada seseorang yang menitipkan ini padamu. Kukira, harus kusampaikan malam ini juga," dia menyerahkan sebuah bingkisan untukku. Tersenyum hangat, meskipun aku tahu hatinya pedih.
"Karena si bingkisan sudah berada di tangan yang benar, aku pulang dulu ya. Senang berkenalan denganmu Rafie," dia berlalu. Setelah Rafie pulang, aku membuka bingkisan yang ternyata sebuah lensa tele yang sangat kuinginkan. Aku terenyuh ketika mengingat hari ini adalah hari jadi kami. Dan aku telah melupakannya begitu saja.
Setelah kejadian itu, Dodi sedikit berubah. Perhatian yang diberikannya sudah berkurang intensitasnya. Bahkan, ajakan hunting juga mulai jarang terdengar. Namun, aku yang tengah dimabuk cinta tak terlalu memperdulikan perubahan yang semakin lama seharusnya semakin terlihat. Bahkan, aku tak mempermasalahkan, di hari ulang tahunku dia tak dapat merayakan bersama denganku dikarenakan ingin bergabung bersama teman – teman lamanya dari universitas di kota gudeg. Bagus juga, pikirku. Aku bisa menghabiskan malam ini bersama Rafie.
That’s the perfect night. Aku dan Rafie merayakan ulang tahunku di sebuah restoran di Forth Season. Jamuannya bukan main. Rafie mentraktirku untuk candle light dinner dan memberikan sebuah liontin berinisial namaku. Malam yang diisi dengan penuh tawa dan canda. Tak sedikitpun aku terfikir akan Dodi.
Insiden itu terjadi kembali. Sudah tengah malam, Rafie mengantarku pulang. Seperti dejavu. Seorang sosok tengah menunggu di beranda rumahku. Dodi. Masih seperti kejadian sebelumnya. Aku sudah tidak memiliki waktu untuk kabur. Dan Rafie sudah terlanjur keluar dari mobil untuk membukakan pintu mobil untukku. Namun, dia tidak seperti Dodi yang biasa kutemui. Wajahnya yang selalu tenang terlihat muram. Terlihat kecewa mungkin lebih pantas. Menyadari berada di tempat dan waktu yang salah, Rafie segera undur diri dan mengucapkan salam buatku dan Dodi. Seperti biasa, Dodi tetap sopan. Bahkan masih bisa melambaikan tangan kepada Rafie. Seseorang yang telah merebut hatiku darinya.
"Aku tahu Sheila. Hubungan kita tak akan bisa berlanjut. Aku tidak ke Jogja. Aku hanya mengetes, sampai dimana perasaanmu terhadapku. Dan, feelingku selama ini benar. Kamu lebih mencintai dokter itu daripada aku."
"Dodi.. Maaf...Aku.." aku berusaha mencari kata – kata pembelaan.
"Sudahlah Sheila. Tak ada gunanya menyangkal. Aku sudah menyaksikan sendiri. Aku hanya ingin kamu bahagia. Selamat tinggal Sheil," dan dia meninggalkanku begitu saja.
Meskipun aku mencintai Rafie, putus dengan Dodi membuatku merasa sedikit kehilangan. Aku merindakukan perhatiannya. Kesabarannya. Serta ketenangan yang selalu diberikannya kepadaku. Dia masih tetap baik. Tak sedikitpun menunjukkan tanda – tanda kebencian, padahal aku sudah jelas – jelas mengkhianatinya. Hubunganku dengan Rafie, juga bertambah dekat. Namun, dia bukan Dodi yang selalu mengerti aku. Aku selalu menemani Rafie menonton konser klasik kesukaannya. Namun, dia selalu untuk menyaksikan konser Anggun yang selalu ingin kutonton. Kurang berkelas, begitu katanya. Aku selalu mendengarkan dia bercerita tentang hobinya mengoleksi miniatur pesawat, namun selalu menunjukkan tampang pura - pura bego saat aku meminta sarannya akan foto - fotoku. Dan yang paling parah, dia masih belum menyatakan cinta kepadaku.
Aku harus bertindak. Sudah hampir empat bulan kami berhubungan. Bertelepon setiap malam. Saling mengirimkan sms sekedar mengingatkan untuk makan siang. Berkencan setiap akhir pekan, jika bisa disebut kencan karena kami tak pernah mengucapkan tiga kata sakti itu. Hingga satu malam, kuputuskan untuk melangkah lebih jauh. Aku harus berani jika ingin mendapatkan kejelasan.
"Maaf Sheila. Aku tidak tahu jika kamu mencintaiku." Apa? Tak tahu? Jadi apa dikiranya hubungan kami selama ini? "Sejak kapan kamu mencintaiku?" tanyanya
"Sejak kita tinggal bersama di Wisma Kenanga," jawabku datar. Aku sudah tahu kemana arah pembicaraan ini.
Aku mengkhianati orang yang telah mencintaiku dengan sepenuh hati demi orang lain yang tak sedikitpun mencintaiku. Menunggu seseorang yang tak layak untuk ditunggu. Aku malu. Pada Dodi. Terlebih pada diriku sendiri. Aku mencapakkan Dodi untuk seseorang yang tak layak untuk dicintai. Benar kata orang, "You dont know what you got till it’s gone" . Setelah putus dengan Dodi, aku baru menyadari bahwa aku mencintainya.
"Hi Sheila. Apa khabar. Kamu cantik sekali malam ini," Dodi menyambutku di pintu apartemennya.
"Baik. Kamu apa khabar? Lama tak terdengar," balasku
"Baik sayangku. Maaf. Aku begitu sibuk akhir – akhir ini. Dikejar deadline. Tak pernah meneleponmu lagi," sesalnya. Meskipun telah putus, Dodi terkadang masih menelponku dan masih memanggilku ‘sayangku’. Sekedar untuk mengucapkan halo atau membicarakan klien – kliennya.
"No problem," jawabku. "Selamat Ulang Tahun ya," kuserahkan bingkisan yang telah kupersiapkan.
"Wow... Terima kasih.. "You don’t have to do that,"
"Hey. It’s your birthday," balasku.
"Ok dear. Ayo masuk. Ada seseorang yang ingin kuperkenalkan padamu. For your information, kamu orang pertama yang tahu akan hal ini,"
Aku mengikuti Dodi masuk ke apartemennya. Perasaanku mulai tidak enak. Rencana yang mulai kususun di dalam benakku mulai porak poranda. Apakah ini sebuah firasat? Sudah ada orang lain di ruang tamu nya. Seorang wanita duduk di atas sofa, sambil memandang ke luar jendela menikmati Jakarta di waktu malam.
"Sayangku, aku ingin memperkanalkan calon istriku, Annisa. Aku baru saja melamarnya,"
- tamat -
No comments:
Post a Comment
kritik dan saran nya ,, saya tunggu ya :)